August 19, 2009

Dia dan penyakitnya.

Sampai menunggu perasaan si ranjang tiba ke pucuk pikiran, dia menulis.

Tulisan inipun dibuat dalam keadaan hati yang galau, kacau. Kalau mau dikomentari silakan. Tapi jangan membuat penilaian hanya dari sudut pandang si pembaca saja. Karena sejak awal dia sudah bilang dengan gamblang, dia sedang galau.

Sejak awal hari ini, dia sudah bisa mengira. Hari ini bukanlah hari yang baik untuknya. Bahkan dia tak bisa bermanis-manis seperti biasa. Rasanya kurang adil buat semua orang di sekitarnya. Tapi apa mau dikata!

Penyakit ini, boleh dibilang begitu, sudah ada sejak lama. Sebelum dia sadar ini sebuah keanehan pun, penyakit itu sudah sering bertandang di dalam dirinya. Penyakit diam, begitu dia sering menyebutnya. Beberapa orang teman sudah tahu jenis penyakit ini ada padanya. Dan untungnya mereka mengerti. Tapi anehnya, keluarganya malah kadang sering bertanya-tanya. Mereka mungkin tahu, hanya saja tidak sadar kalau itulah dia, yang mau tidak mau dan sayangnya begitulah adanya.

Dia tidak tahu si pacar masih ingat atau tidak. Tapi sebelum mereka sepakat untuk menjalani hubungan, dia sempat bilang mengenai hal itu. Harusnya dia masih ingat, karena kalau tidak, dia pasti sudah kabur. Menyerah dan angkat kaki dari kehidupannya.

Seperti yang sebelumnya dia bilang, hari ini dia merasa dekat dengan neraka. Bahkan dia merasa seperti penghuninya. Senyum yang terpasang hari ini adalah palsu. Mulai tadi pagi, dia sudah mengecewakan seorang ibu. Ada perasaan berdosa, tapi perasaan masa bodo lebih mendominasi di dalamku. Merajalela, mengendalikan dan mengambil alih kesadarannya untuk menebus kesalahan itu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Segala sesuatu di hari ini adalah salah. Setiap kesalahan itu terkait dengan berbagai alasan yang selama ini menjadi pertimbangan dan akhirnya merusak akal sehatnya. Yah, mulai berpikir cetek adalah kerusakan otak yang parah untuk dirinya. Dia malu dengan pikirannya sendiri.

Salah satu kecetekan yang ada adalah saat terbersit orang hanya memanfaatkan kebaikannya. Hanya kecewa yang ada saat pikirannya melontarkan kemungkinan itu. Tapi dia berusaha untuk menyapu pikiran tolol itu ke pinggir otaknya. Yah, hanya berusaha menyingkirkan dan dia tahu pasti satu saat pikiran itu pasti akan kembali menemukan jalan untuk perlahan-lahan menempati tempat di tengah otaknya. Menyedihkan. Iya. Menyedihkan. Dia merasakan sesak dan perih. Dan dia tidak butuh rasa kasihan, melainkan bukti bahwa pikiran itu salah.

Dia hanya bisa menunggu sampai kesadarannya berfungsi kembali. Sampat saat itu tiba, dia hanya bisa berdoa dan berusaha menepis pikiran tolol dari otaknya.

Tulisan ini dibuat tidak dengan maksud apapun. Kalaupun ada, itu adalah untuk melegakan dan meredakan kegalauan di hatinya.

Mengusir galau,
coffee.stains

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home